Sabtu, 14 Januari 2012

Gerakan Buruh : Antara Visi Dan Kebutuhan


Pemogokan buruh pertama kali terjadi di Manchester, Inggris, akhir 1819. Ribuan buruh berunjuk rasa dan merusak sejumlah pabrik dan mesin-mesin industri. Mereka menolak menjadi budak industri, menuntut pengurangan jam kerja, dan meminta kenaikan upah.  Sementara pada 1840 an, petani, buruh tani dan buruh pabrik gula di Yogyakarta dan Pekalongan mulai melancarkan protes.
Pada 1916, aksi mogok buruh juga terjadi di Semarang. Aksi ini melibatkan puluhan buruh anggota Serikat Pegawai Trem dan Kereta Api yang dimotori Semaun, tokoh Sarekat Islam (SI) sayap kiri. Dalam aksi mogok ini, sejumlah pegawai pribumi menuntut kanaikan gaji, lantaran upah mereka jauh lebih kecil ketimbang gaji orang bule. Berdasarkan catatan Robert van Niel dalam bukunya, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, menyebut pada 1911 hingga 1920-an sedang berkembang gerakan buruh.
Pada waktu itu, kalangan pribumi yang bekerja di lembaga pemerintah kolonial membentuk organisasi buruh di lingkungan kerjanya. Misalnya, pegawai Bea Cukai membentuk Serikat Buruh Bea Cukai pada 1911. Setahun kemudian lahir Persatuan Guru. Pada 1916 berdiri Persatuan Pegawai Pegadaian dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah.
Selain itu, juga terbentuk organisasi buruh di lingkungan perusahaan dan perkebunan. Serikat Pekerja Trem dan Kereta Api lahir tahun 1912, Serikat Buruh dan Tani dibentuk tahun 1917. Dua tahun sebelumnya, bangsawan Pakualaman, Yogyakarta, RM Suryopranoto, mendirikan organisasi buruh perkebunan yang terkenal dengan nama Personel Fabrik Bond (FPB).
Gerakan buruh di zaman Belanda sarat dengan warna politik. Hampir semua tokoh buruh di masa itu terlibat pergolakan politik melawan pemerintah kolonial. Contohnya, Suryopranoto, yang juga kakak kandung tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Ia semula memperjuangkan kesejahteraan buruh perkebunan tebu. Belakangan, ia membawa buruh untuk melawan Belanda.
Sementara itu, mari kita coba melongok ke masa kini, dimana kebanyakan gerakan buruh agaknya masih berkutat pada masalah hak-hak normatif. Bahkan yang memprihatinkan, masih banyak buruh yang enggan untuk berorganisasi, lantaran menganggap organisasi tidak ada manfaatnya. Kebanyakan mereka baru mendatangi organisasi atau serikat buruh manakala mereka mengalami persoalan ketenagakerjaan. Fenomena seperti inilah yang jadi ironi.

copy By: SolidaritasBuruh.org

Penetapan UMP di bawah KHL adalah sebuah KEJAHATAN


Pada tahun 2011 lalu, masih banyak Kepala Daerah di Indonesia yang masih menetapkan nominal UMP dibawah angka usulan KHL. Kejadian ini mengindikasikan bahwa, masih banyak Kepala Daerah yang tidak memahami hakekat dari KHL dan menunjukkan keberpihakannya pada pemodal. Kepala Daerah yang merupakan pejabat publik hasil pilihan langsung rakyat, memang bukan pejabat karir. Namun demikian, sikap yang tidak mengindahkan KHL tersebut tetap tidak bisa dimaklumi atau dibenarkan. Dengan alasan apapun, nilai UMP harus lebih tinggi dari pada KHL. Kenapa?
KHL bukanlah sesuatu yang bisa diparalelkan dengan nilai keekonomisan dari suatu proses produksi. Tetapi KHL adalah suatu rumusan yang mencoba “meneropong”, berapa sih kebutuhan hidup manusia secara layak. Setelah melalui serangkaian survey dan perdebatan, maka Dewan Pengupahan selanjutnya menyampaikan usulan KHL pada Kepala Daerah masing-masing.
Survei KHL dilakukan dengan menggunakan 46 komponen yang dibutuhkan manusia untuk dapat disebut hidup layak sebagai tolok ukurnya. Masing-masing komponen memiliki kualitas sedang dengan jumlah secukupnya. Selain itu, KHL hanya memperhitungkan kebutuhan hidup layak untuk satu orang saja;, buruh lajang!
Sebenarnya kata kunci dari istilah kebutuhan hidup layak, terletak pada kata “layak”. Jadi logikanya, andaikata UMP suatu daerah ternyata masih dibawah usulan KHL, maka ini mencerminkan sikap Kepala Daerah yang tidak peduli dengan kelayakan hidup warganya. Selain itu kebijakan ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah, secara sengaja telah menghalangi warganya untuk dapat hidup layak. Sementara itu, setiap tindakan menghalangi seseorang untuk dapat hidup layak,  adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan.
Semoga di tahun 2012 mendatang, di Indonesia tidak ada lagi kabar tentang penetapan UMP yang di bawah angka KHL.

Copy by: SolidaritasBuruh.org