UU No 2 Tahun 2004 BAB III - VIII



.

BAB  III
PENGADILAN  HUBUNGAN  INDUSTRIAL 
Bagian  Kesatu
U m u m
Pasal 55
Pengadilan  Hubungan  Industrial  merupakan  pengadilan  khusus  yang  berada  pada lingkungan peradilan umum.

Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:

a.    di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.   di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.    di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.       di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh  dalam  satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1)      Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota  Provinsi  yang  daerah  hukumnya  meliputi  provinsi  yang  bersangkutan.

(2)      Di  Kabupaten/Kota  terutama  yang  padat  industri,  dengan  Keputusan  Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
(1)     Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a.     Hakim;
b.     Hakim Ad-Hoc;

c.     Panitera Muda; dan d.      Panitera Pengganti.
(2)     Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a.    Hakim Agung;
b.   Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan c.   Panitera.
Bagian Kedua
Hakim,  Hakim  Ad-Hoc  dan  Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim   Pengadilan    Hubungan   Industrial   pada   Pengadilan   Negeri    diangkat   dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal  62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal  63
(1)     Hakim  Ad-Hoc  Pengadilan  Hubungan  Industrial  diangkat  dengan  Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2)      Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3)     Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial kepada Presiden.
Pasal  64

Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.     warga negara Indonesia;

b.    bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.     setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

d.    berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;

e.     berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;

f.     berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

g.       berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan

h.    berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.

Pasal  65
(1)     Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc  Pengadilan Hubungan Industrial wajib  mengucapkan  sumpah  atau  janji  menurut  agama  atau  kepercayaannya, bunyi sumpah  atau janji itu adalah  sebagai  berikut:
Saya    bersumpah/berjanji dengan         sungguh-sungguh    bahwa     saya      untuk memperoleh     jabatan            saya       ini,                langsung  atau            tidak  langsung,   dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan  jujur,    seksama               dan      dengan     tidak membedakan      orang                dan       akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
(2)     Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
(1)     Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:

a.      anggota Lembaga Tinggi Negara;
b.      kepala daerah/kepala wilayah;
c.      lembaga legislatif tingkat daerah;
d.     pegawai negeri sipil;
e.      anggota TNI/Polri;
f.       pengurus partai politik;
g.      pengacara;
h.      mediator;
i.       konsiliator;
j.       arbiter; atau
k.      pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.
(2)     Dalam  hal  seorang     Hakim  Ad-Hoc  yang  merangkap  jabatan  sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1),  jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1)     Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.     meninggal dunia;
b.     permintaan sendiri;
c.     sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;

d.          telah  berumur  62  (enam  puluh  dua)  tahun  bagi  Hakim  Ad-Hoc  pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e.     tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f.      atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
g.    telah selesai masa tugasnya.

(2)      Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal  68
(1)     Hakim  Ad-Hoc  Pengadilan  Hubungan  Industrial  diberhentikan  tidak  dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a.    dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.          selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban  dalam  menjalankan  tugas  pekerjaanya  tanpa  alasan  yang  sah; atau
c.    melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2)     Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan  sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal  69
(1)     Hakim  Ad-Hoc  Pengadilan  Hubungan  Industrial  sebelum  diberhentikan  tidak dengan          hormat               sebagaimana                   dimaksud    dalam    Pasal    68    ayat   (1),    dapat diberhentikan  sementara dari jabatannya.
(2)      Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), berlaku pula ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
(1)     Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang  tersedia.
(2)     Untuk  pertama  kalinya  pengangkatan  Hakim  Ad-Hoc  Pengadilan  Hubungan Industrial  pada  Pengadilan Negeri  paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/serikat  buruh  dan  5  (lima)  orang  dari  unsur  organisasi  pengusaha.

Pasal  71
(1)     Ketua Pengadilan  Negeri  melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.

(2)     Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3)     Dalam  melakukan  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.

(4)     Dalam  melakukan  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2),  Ketua
Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi. (5)        Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak
boleh   mengurangi   kebebasan   Hakim Hakim   Ad-Hoc   dan   Hakim   Kasasi
Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus perselisihan.
Pasal  72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian  dengan  tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim  Ad-Hoc  sebagaimana dimaksud dalam Pasal        67,             Pasal      68,       dan      Pasal    69                diatur  dengan   Peraturan Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian  Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1)     Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang  Panitera Muda.
(2)     Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda  sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1)    Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai tugas:
a.    menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan b.            membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.

(2)     Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf  b  sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak,  dan jenis  perselisihan.
Pasal  76
Sub  Kepaniteraan  bertanggung  jawab  atas  penyampaian  surat  panggilan  sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1)    Untuk pertama kali  Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial  diangkat  dari                                     Pegawai  Negeri  Sipil  dari  instansi  Pemerintah  yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2)     Ketentuan  mengenai  persyaratan,  tata  cara  pengangkatan,  dan  pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Susunan  organisasi,  tugas,  dan  tata  kerja  Sub  Kepaniteraan  Pengadilan  Hubungan
Industrial diatur  dengan  Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1)     Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2)     Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.

Pasal  80
(1)     Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2)     Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin  Panitera Muda.
BAB  IV 
PENYELESAIAN 
PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 
Bagian  Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf   1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan  oleh  pekerja/buruh  atas  pemutusan  hubungan  kerja   sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Pasal 83

(1)     Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat.

(2)     Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.

Pasal 84

Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.

Pasal 85

(1)     Penggugat    dapat    sewaktu-waktu    mencabut    gugatannya    sebelum    tergugat memberikan jawaban.
(2)     Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh  penggugat  akan  dikabulkan  oleh  Pengadilan  Hubungan  Industrial  hanya apabila disetujui tergugat.

Pasal 86

Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan  hubungan  kerja,  maka  Pengadilan  Hubungan  Industrial                                          wajib  memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.

Pasal  87

Serikat  pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.

Pasal  88

(1)      Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas
1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang  memeriksa dan memutus perselisihan.
(2)      Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3)     Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1)
ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf  2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal  89
(1)       Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis
Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
(2)                                                                                                                          Pemanggilanuntuk  datang  ke  sidang  dilakukan  secara  sah  apabila  disampaikan dengan  surat  panggilan  kepada  para  pihak  di  alamat  tempat  tinggalnya  atau apabila  tempat  tinggalnya  tidak  diketahui  disampaikan  di  tempat                                                                                                                    kediaman terakhir.
(3)                  Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi  tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4)                  Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain  dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5)                  Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman  terakhir  tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal  90
(1)      Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.

(2)      Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah
sumpah.

Pasal  91

(1)     Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.

(2)     Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)      Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal  92

Sidang sah apabila  dilakukan  oleh  Majelis  Hakim  sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 ayat (1).

Pasal  93

(1)      Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
(2)      Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.
(3)      Penundaan  sidang  karena  ketidakhadiran  salah  satu  atau  para  pihak  diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal  94
(1)      Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2)      Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3),  maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal  95
(1)     Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.

(2)     Setiap  orang  yang  hadir  dalam  persidangan  wajib  menghormati  tata  tertib persidangan.
(3)     Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1)     Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2)     Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3)     Dalam  hal  selama  pemeriksaan  sengketa  masih  berlangsung  dan  Putusan  Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4)     Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97

Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Paragraf  3
Pemeriksaan Dengan  Acara Cepat
Pasal 98

(1)     Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.

(2)     Dalam  jangka  waktu  7  (tujuh)  hari  kerja  setelah  diterimanya  permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.

(3)     Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.

Pasal 99

(1)     Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.

(2)     Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan     tidak                         melebihi   14                  (empat belas)          hari            kerja.



Paragraf   4
Pengambilan Putusan
Pasal  100

Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.

Pasal  101

(1)     Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2)     Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1),  Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut.
(3)     Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  sebagai putusan
Pengadilan Hubungan Industrial.
(4)    Tidak  dipenuhinya  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 102
(1)     Putusan Pengadilan harus memuat:
a.    kepala       putusan        berbunyi:   DEMI             KEADILAN       BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ;
b.    nama,  jabatan,  kewarganegaraan,  tempat  kediaman  atau  tempat  kedudukan para pihak yang berselisih;
c.     ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas;
d.  pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.     alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.     amar putusan tentang sengketa;
g.    hari,  tanggal  putusan,  nama  Hakim,  Hakim  Ad-Hoc  yang  memutus,  nama
Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2)     Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal  103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.
Pasal  104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ditandatangani           oleh                             Hakim, Hakim       Ad-Hoc     dan             Panitera                 Pengganti.
Pasal  105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera
Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi. Pasal  109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan  putusan akhir dan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila  tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a.        bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;
b.       bagi  pihak  yang  tidak  hadir,  terhitung  sejak  tanggal  menerima  pemberitahuan putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi  harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya  14  (empat  belas)  hari  kerja  terhitung  sejak  tanggal  penerimaan
permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian  Kedua 
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi 
Pasal 113

Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim  Ad- Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 114

Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 115

Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.

BAB V 
SANKSI  ADMINISTRASI  DAN  KETENTUAN PIDANA
Bagian  Kesatu
Sanksi  Administratif 
Pasal 116

(1)     Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2)     Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107  dapat  dikenakan  sanksi  administratif  sesuai  dengan  peraturan  perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 117
(1)     Konsiliator  yang  tidak  menyampaikan  anjuran  tertulis  dalam  waktu  selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam  Pasal
23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2)     Konsiliator  yang  telah  mendapatkan  teguran  tertulis  sebanyak  3  (tiga)  kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3)     Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4)     Sanksi  administratif  pencabutan  sementara  sebagai  konsiliator  diberikan  untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator dalam hal:
a.      konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  117  ayat  (2)  sebanyak  3  (tiga) kali;
b.     terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c.      menyalahgunakan jabatan;  dan atau
d.     membocorkan keterangan yang  diminta  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 22 ayat (3).
Pasal 119
(1)     Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu  selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2)      Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3)     Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4)     Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal  120
(1)      Arbiter  dapat  dikenakan  sanksi  administratif  berupa  pencabutan  tetap  sebagai arbiter dalam hal:
a.   arbiter  paling  sedikit  telah  3  (tiga)  kali  mengambil  keputusan  arbitrase perselisihan      hubungan  industrial    melampaui    kekuasaannya,  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 52 ayat   (1)  huruf   d  dan   e dan   Mahkamah   Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b.    terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c.     menyalahgunakan jabatan;
d.  arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
(2)      Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121
(1)      Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117,  Pasal 118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)     Tata  cara  pemberian  dan  pencabutan  sanksi  akan  diatur  lebih  lanjut  dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kedua 
Ketentuan Pidana 
Pasal 122
(1)      Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat
1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2)     Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

BAB  VI 
KETENTUAN LAIN-LAIN 
Pasal  123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha- usaha   lain      yang             tidak berbentuk       perusahaan  tetapi             mempunyai                pengurus    dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya  diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

BAB VII 
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1)     Sebelum terbentuk  Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal  59,  Panitia  Penyelesaian  Perselisihan  Perburuhan  Daerah  dan  Panitia Penyelesaian   Perselisihan   Perburuhan   Pusat   tetap   melaksanakan   fungsi   dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)     Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah diajukan kepada:
a.    Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b.    Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c.    Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d.   Putusan  Panitia  Penyelesaian  Perselisihan  Perburuhan  Pusat  atau  lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud pada  huruf c yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;

BAB  VIII 
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1)    Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a.    Undang-undang  Nomor  22  Tahun  1957  tentang  Penyelesaian  Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b.    Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2)     Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang  merupakan  Peraturan  Pelaksanaan  dari  Undang-undang  Nomor  22  Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
12  Tahun  1964  tentang  Pemutusan  Hubungan  Kerja  Di  Perusahaan  Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2686)  dinyatakan  tetap  berlaku  sepanjang  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal   14   januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
MEGAWATI  SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal SEKRETARIS  NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd

BAMBANG KESOWO