.
BAB III
PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian
Kesatu
U m u m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan
Industrial
merupakan pengadilan khusus yang
berada
pada
lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai
perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam
undang-undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara
di Pengadilan Hubungan Industrial,
pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi
yang nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan
undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap
Ibukota Provinsi yang daerah
hukumnya meliputi
provinsi
yang
bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan
Presiden
harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri
dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim
Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan
diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial diangkat dengan
Keputusan
Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui
oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Untuk dapat
diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan
dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan
tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya strata
satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan
h. berpengalaman
di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.
Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan
sumpah
atau
janji menurut
agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah
atau janji itu adalah sebagai
berikut:
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan
atau menjanjikan barang
sesuatu kepada siapapun juga.
Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila
sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku .
(2) Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri
diambil sumpah atau janjinya
oleh Ketua Pengadilan Negeri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan
sebagai:
a. anggota
Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota
TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh
atau pengurus organisasi pengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim
Ad-Hoc
yang
merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc
dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan
sendiri;
c. sakit jasmani
atau rohani terus menerus selama
12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua)
tahun
bagi
Hakim
Ad-Hoc
pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh
tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha
atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim
Ad-Hoc
Pengadilan
Hubungan
Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan
tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekerjaanya tanpa
alasan yang sah; atau
c. melanggar
sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian
tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan
pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial
sebelum
diberhentikan
tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), berlaku
pula ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber
daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama
kalinya
pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit
5 (lima) orang dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh dan 5 (lima)
orang dari unsur organisasi pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan
Negeri
melakukan
pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda,
dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam
melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam
ayat
(1),
Ketua
Pengadilan Negeri dapat memberikan
petunjuk dan teguran
kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
(4) Dalam
melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam
ayat
(2),
Ketua
Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi. (5) Petunjuk dan teguran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim
Ad-Hoc
dan
Hakim
Kasasi
Pengadilan
Hubungan Industrial dalam memeriksa
dan memutus perselisihan.
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan
tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim
Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya
bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan
dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya
Panitera Muda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibantu oleh
beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai
tugas:
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan b. membuat
daftar semua perselisihan yang diterima dalam
buku perkara.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya memuat
nomor urut, nama dan alamat
para pihak, dan jenis perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan
bertanggung
jawab
atas
penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan
putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali
Panitera Muda dan Panitera
Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diangkat
dari Pegawai Negeri
Sipil
dari
instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai
persyaratan,
tata
cara
pengangkatan,
dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera
Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diatur lebih lanjut menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi,
tugas,
dan
tata
kerja
Sub
Kepaniteraan
Pengadilan
Hubungan
Industrial
diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Hakim, Hakim
Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera
Muda bertanggung jawab
atas buku perkara
dan surat-surat lainnya
yang disimpan di Sub
Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara
dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik
asli maupun foto copy tidak boleh dibawa
keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin
Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan
Gugatan
Pasal 81
Gugatan
perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh
pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1) Pengajuan
gugatan yang tidak
dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan
gugatan kepada pengugat.
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta pengugat
untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif
dengan memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan
jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan oleh penggugat akan
dikabulkan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Dalam
hal perselisihan hak dan/atau
perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan
hubungan
kerja,
maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus
terlebih dahulu perkara perselisihan hak
dan/atau perselisihan kepentingan.
Pasal 87
Serikat pekerja/serikat
buruh dan organisasi pengusaha
dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya.
Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
gugatan harus sudah menetapkan
Majelis Hakim yang terdiri atas
1 (satu) orang
Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2
(dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai
Anggota Majelis yang memeriksa
dan memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1)
ditunjuk seorang
Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan
Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis
Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus
sudah melakukan sidang pertama.
(2) Pemanggilanuntuk datang ke sidang
dilakukan
secara
sah
apabila
disampaikan
dengan surat panggilan kepada para pihak
di
alamat tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak
diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil
tidak ada di tempat tinggalnya
atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman
yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan
oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain
dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal
maupun tempat kediaman
terakhir
tidak dikenal,
maka surat panggilan ditempelkan
pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil
saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna
diminta
dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi
saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi
panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah
sumpah.
Pasal 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim
guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya
tanpa syarat, termasuk membukakan
buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis
Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 92
Sidang sah apabila
dilakukan
oleh
Majelis
Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 ayat (1).
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan
hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penundaan.
(3) Penundaan sidang karena
ketidakhadiran
salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua)
kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat
atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan
terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya
sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat
atau kuasa hukumnya yang sah setelah
dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan
terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka
Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis
Hakim menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan
wajib
menghormati
tata
tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati
tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis
Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang
sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata
pihak pengusaha
terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha
untuk membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan
itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam
hal
selama pemeriksaan
sengketa
masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha,
Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan
Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan
Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para
pihak atau salah satu pihak atas
setiap penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Paragraf 3
Pemeriksaan
Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila
terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah
satu pihak yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan
dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak
dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial
supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Dalam
jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan
upaya hukum.
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan
majelis hakim, hari, tempat,
dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban
dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan
Putusan
Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis
Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.
Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1), Ketua Majelis Hakim
memerintahkan kepada Panitera Pengganti
untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak
yang tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebagai putusan
Pengadilan
Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam
ayat
(1)
berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA ;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman
atau
tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap
setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama
sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar
putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim,
Hakim
Ad-Hoc
yang
memutus,
nama
Panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak
hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan
putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang
pertama.
Pasal 104
Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim
dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani, Panitera
Muda harus sudah
menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan
Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus
sudah mengirimkan salinan putusan
kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis
Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial dapat mengeluarkan putusan
yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun
putusannya diajukan perlawanan atau kasasi. Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir
dan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja mempunyai kekuatan hukum
tetap apabila tidak
diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung
sejak putusan di bacakan
dalam sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak
tanggal
menerima
pemberitahuan putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak
atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya
14
(empat belas)
hari
kerja
terhitung
sejak
tanggal
penerimaan
permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara
kepada Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim
Agung dan dua orang Hakim
Ad- Hoc yang ditugasi memeriksa
dan mengadili perkara perselisihan
hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim
Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian
perselisihan hak atau perselisihan pemutusan
hubungan kerja pada Mahkamah Agung
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1) Mediator
yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja tanpa alasan yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif
berupa hukuman disiplin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera
Muda yang tidak menerbitkan salinan
putusan dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 dapat
dikenakan
sanksi
administratif
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 117
(1) Konsiliator
yang
tidak
menyampaikan
anjuran
tertulis dalam
waktu
selambat- lambatnya
14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak
membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2)
huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Konsiliator
yang
telah
mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang
sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan
untuk
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator dalam hal:
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
117
ayat
(2)
sebanyak
3
(tiga)
kali;
b. terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan atau
d. membocorkan
keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22
ayat (3).
Pasal 119
(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan
sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Arbiter
yang telah mendapat teguran
tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai
arbiter diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif
berupa
pencabutan
tetap
sebagai
arbiter dalam hal:
a. arbiter
paling
sedikit
telah
3
(tiga)
kali
mengambil
keputusan
arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah
Agung telah mengabulkan
permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3
(tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117,
Pasal 118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian
dan
pencabutan
sanksi
akan
diatur
lebih
lanjut
dengan
Keputusan
Menteri.
Bagian
Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal
22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat
1 (satu) bulan
dan paling lama 6 (enam) bulan
dan atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
tindak pidana pelanggaran.
BAB
VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam
hal terjadi perselisihan hubungan industrial
pada usaha-usaha sosial
dan usaha- usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya
diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang
ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan
Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat tetap melaksanakan fungsi
dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang
ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan
hubungan kerja yang telah diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain
yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
atau lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau
para pihak dan putusan tersebut diterima
masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain
yang setingkat yang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum
diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf
c yang ditolak dan diajukan
banding oleh
salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh)
hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun
1957
tentang
Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja Di Perusahaan Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku,
semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
12 Tahun
1964
tentang
Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan
Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor
2686) dinyatakan
tetap berlaku sepanjang
tidak
bertentangan
dengan
ketentuan
dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang-undang
ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada
tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta pada tanggal SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO