UU no 2 Tahun 2004 BAB I - II



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG

PENYELESAIAN  PERSELISIHAN  HUBUNGAN  INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimban:

a.   bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
b.   bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c.   bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;



Mengingat  :

1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   Undang-undang Nomor 14  Tahun 1970 tentang Ketentuan  ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3.   Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
4.   Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327)
5.   Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6.   Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN  :
Menetapkan  :

UNDANG-UNDANG       TENTANG        PENYELESAIAN        PERSELISIHAN HUBUNGAN  INDUSTRIAL.

BAB
KETENTUAN UMUM 
Pasal  1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.    Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2.    Perselisihan  hak  adalah perselisihan  yang  timbul  karena  tidak  dipenuhinya  hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.    Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4.        Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

5.       Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6.       Pengusaha adalah:

a.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.          orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7.       Perusahaan adalah:

a.   setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara  yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  dengan  membayar  upah  atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

8.       Serikat pekerja/serikat buruh  adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan  keluarganya.
9.       Pekerja/buruh  adalah  setiap  orang  yang  bekerja  dengan  menerima  upah   atau imbalan dalam bentuk lain.
10.    Perundingan   bipartit   adalah   perundingan   antara   pekerja/buruh   atau   serikat pekerja/serikat                           buruh   dengan    pengusaha    untuk    menyelesaikan    perselisihan hubungan industrial.
11.    Mediasi    Hubungan    Industrial    yang    selanjutnya     disebut    mediasi     adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah  yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
12.    Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi  syarat-syarat  sebagai  mediator  yang  ditetapkan  oleh  Menteri  untuk
bertugas  melakukan  mediasi  dan  mempunyai  kewajiban  memberikan  anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
13.    Konsiliasi   Hubungan   Industrial   yang   selanjutnya   disebut   konsiliasi   adalah penyelesaian  perselisihan  kepentingan,  perselisihan   pemutusan  hubungan  kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh  hanya dalam satu perusahaan melalui  musyawarah  yang  ditengahi  oleh  seorang  atau  lebih  konsiliator  yang netral.
14.    Konsiliator  Hubungan  Industrial  yang  selanjutnya  disebut  konsiliator  adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,  yang  bertugas  melakukan  konsiliasi  dan  wajib  memberikan  anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
15.    Arbitrase    Hubungan    Industrial    yang    selanjutnya    disebut   arbitrase    adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
16.     Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
17.    Pengadilan  Hubungan  Industrial  adalah  pengadilan  khusus  yang  dibentuk  di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
18.    Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan
Hubungan Industrial.
19.    Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.
20.    Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
21.    Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial  meliputi:
a.       perselisihan hak;
b.      perselisihan kepentingan;
c.       perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d.      perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

BAB  II 
TATA  CARA
PENYELESAIAN  PERSELISIHAN HUBUNGAN  INDUSTRIAL 
Bagian  Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1)      Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2)      Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3)      Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1)     Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2)     Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(3)     Setelah  menerima  pencatatan  dari  salah  satu  atau  para  pihak,  instansi  yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada
para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui
arbitrase.
(4)     Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
(5)     Penyelesaian    melalui    konsiliasi    dilakukan    untuk    penyelesaian    perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
(6)     Penyelesaian     melalui    arbitrase    dilakukan    untuk   penyelesaian     perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka  salah  satu  pihak  dapat  mengajukan  gugatan  kepada  Pengadilan  Hubungan Industrial.
Pasal 6
(1)      Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)      Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.    nama lengkap dan alamat para pihak;
b.    tanggal dan tempat perundingan;
c.    pokok masalah atau alasan perselisihan;
d.   pendapat para pihak;
e.    kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f.    tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.

Pasal 7

(1)    Dalam  hal  musyawarah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  3  dapat  mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.

(2)      Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.

(3)     Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.

(4)    Perjanjian  Bersama  yang  telah  didaftar  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

(5)    Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

(6)    Dalam  hal  pemohon  eksekusi  berdomisili  di  luar  Pengadilan  Negeri  tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi

Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.


Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.     beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.     warga negara Indonesia;
c.     berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d.     menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e.     berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.      berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan g.   syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

Dalam waktu  selambat-lambatnya  7  (tujuh)  hari  kerja  setelah  menerima  pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Pasal 11

(1)      Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2)      Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 12

(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)  Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)  Mediator   wajib   merahasiakan   semua   keterangan   yang   diminta   sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 13

(1)      Dalam  hal  tercapai  kesepakatan  penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak  dan  disaksikan  oleh  mediator  serta  didaftar  di  Pengadilan  Hubungan Industrial  pada  Pengadilan  Negeri  di  wilayah  hukum pihak-pihak  mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2)      Dalam   hal   tidak   tercapai   kesepakatan   penyelesaian   perselisihan   hubungan industrial melalui mediasi, maka:

a.    mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b.    anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c.   para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d.   pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak  anjuran tertulis;
e.   dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3)     Pendaftaran   Perjanjian    Bersama    di   Pengadilan   Hubungan    Industrial   pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:

a.    Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;

b.          apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

c.    dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 14

(1)      Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

(2)      Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 15

Mediator  menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).

Pasal 16

Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.


Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Pasal 17

Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada   kantor  instansi            yang       bertanggung         jawab               di           bidang            ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1)     Penyelesaian  perselisihan  kepentingan,  perselisihan  pemutusan   hubungan  kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui  konsiliasi  dilakukan  oleh  konsiliator  yang  wilayah  kerjanya  meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
(2)     Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
(3)     Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1)  Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:
a.  beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.  warga negara Indonesia;
c.  berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d.  pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
e.  berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f.    berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g.    memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya  5 (lima)  tahun;
h.  menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan i.     syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)      Konsiliator  yang  telah  terdaftar  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 20

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah  mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.

Pasal 21

(1)      Konsiliator  dapat  memanggil  saksi  atau  saksi  ahli  untuk  hadir  dalam  sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2)      Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)  Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 23

(1)     Dalam  hal  tercapai  kesepakatan  penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial  pada  Pengadilan  Negeri  di  wilayah  hukum pihak-pihak  mengadakan Perjanjian   Bersama                          untuk  mendapatkan        akta     bukti    pendaftaran.

(2)    Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka:
a.    konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b.   anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama  harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c.           para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d.    pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e.                      dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf  a,  maka,  dalam  waktu  selambat-lambatnya  3  (tiga)  hari  kerja  sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat   Perjanjian        Bersama          untuk                   kemudian                didaftar     di                Pengadilan Hubungan                Industrial         pada           Pengadilan              Negeri       di               wilayah     pihak-pihak mengadakan Perjanjian  Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

(3)     Pendaftaran   Perjanjian    Bersama    di   Pengadilan   Hubungan    Industrial   pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:

a.           Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;

b.   apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c.    dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 24
(1)      Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat
(2)      Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.

Pasal 25

Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.

Pasal 26
(1)     Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
(2)     Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27

Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau
Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.

Pasal  28

Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian  Keempat 
Penyelesaian  Melalui  Arbitrase 
Pasal   29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Pasal  30

(1)      Arbiter  yang  berwenang  menyelesaikan  perselisihan  hubungan  industrial  harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2)     Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik  Indonesia.

Pasal 31

(1)     Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) harus memenuhi syarat:
a.    beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.   cakap melakukan tindakan hukum;
c.    warga negara Indonesia;
d.   pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e.   berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f.    berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g.          menguasai  peraturan  perundang-undangan  di  bidang  ketenagakerjaan  yang dibuktikan  dengan  sertifikat  atau  bukti  kelulusan  telah  mengikuti  ujian arbitrase; dan
h.          memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya  5 (lima)  tahun.
(2)     Ketentuan  mengenai pengujian  dan  tata  cara  pendaftaran arbiter  diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 32

(1)      Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2)      Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(3)     Surat  perjanjian  arbitrase  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2),  sekurang- kurangnya memuat:
a.    nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b.    pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c.   jumlah arbiter yang disepakati;
d.  pernyataan   para   pihak   yang   berselisih   untuk   tunduk   dan   menjalankan keputusan arbitrase; dan
e.          tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.

Pasal  33

(1)      Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter  yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)     Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal  atau  beberapa  arbiter
(majelis) dalam jumlah  gasal  sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3)     Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4)     Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5)     Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara tertulis.
(6)     Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(7)     Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8)     Seseorang  yang  menerima  penunjukan  sebagai  arbiter  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal  34
(1)              Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (8)          membuat         perjanjian    penunjukan  arbiter             dengan   para         pihak  yang berselisih.

(2)     Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang- kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a.           nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;
b.          pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c.     biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d.          pernyataan   para   pihak   yang   berselisih   untuk   tunduk   dan   menjalankan keputusan arbitrase;
e.    tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
f.           pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g.    tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3)     Perjanjian    arbiter  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(4)     Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka  asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
(1)      Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2)     Arbiter  yang  akan  menarik  diri  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3)     Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut.
(4)     Dalam  hal  permohonan  penarikan  diri  tidak  mendapat  persetujuan  para  pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.

Pasal 36
(1)      Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak.
(2)      Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbiter.
(3)     Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4)     Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat  (3)  harus  sudah  mencapai  kesepakatan  menunjuk  arbiter  pengganti  dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5)     Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau  salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.

Pasal  37

Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan kesediaan  menerima  hasil-hasil  yang  telah  dicapai  dan  melanjutkan  penyelesaian perkara.

Pasal 38

(1)      Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2)      Tuntutan  ingkar  terhadap  seorang  arbiter  dapat  pula  diajukan  apabila  terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
(3)      Putusan   Pengadilan   Negeri   mengenai   tuntutan   ingkar   tidak   dapat   diajukan perlawanan.

Pasal  39

(1)     Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

(2)      Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.

(3)     Hak  ingkar  terhadap  anggota  majelis  arbiter  yang  disepakati  diajukan  kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal  40

(1)      Arbiter  wajib  menyelesaikan  perselisihan  hubungan  industrial  dalam  waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(2)     Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(3)     Atas  kesepakatan  para  pihak,  arbiter  berwenang  untuk  memperpanjang  jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.

Pasal  41

Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.

Pasal  42

Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.

Pasal  43

(1)     Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2)     Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3)     Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum  perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.

Pasal  44

(1)      Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.




(2)      Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
(3)      Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
(4)      Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)  dilakukan sebagai berikut:

a.    Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;

b.          apabila Akta Perdamaian  tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c.   dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

(5)      Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.

Pasal  45

(1)      Dalam  persidangan  arbitrase  para  pihak  diberi  kesempatan  untuk  menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2)     Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pasal  46

(1)      Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.

(2)      Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

(3)      Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
(4)      Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.

(5)      Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.

Pasal  47

(1)      Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)      Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)      Arbiter   wajib   merahasiakan   semua   keterangan   yang   diminta   sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal  48

Terhadap   kegiatan   dalam   pemeriksaan   dan   sidang   arbitrase   dibuat   berita   acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pasal  49

Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.

Pasal  50

(1)     Putusan arbitrase memuat:
a.    kepala    putusan   yang    berbunyi    "DEMI   KEADILAN   BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.     nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c.     nama lengkap dan alamat para pihak;
d.    hal-hal yang  termuat  dalam  surat perjanjian yang diajukan oleh  para pihak yang berselisih;
e.    ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan  lebih  lanjut  para pihak yang berselisih;
f.     pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g.    pokok putusan;
h.    tempat dan tanggal putusan;
i.     mulai berlakunya putusan; dan
j.     tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.

(2)     Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3)     Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus dicantumkan dalam putusan.
(4)      Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan.

Pasal  51

(1)    Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat  para  pihak  yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2)    Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. (3)    Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusdi Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
(4)     Perintah  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (3)  harus  diberikan  dalam  waktu selambat-lambatnya  30  (tiga  puluh)  hari  kerja  setelah  permohonan   didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pasal  52

(1)     Terhadap  putusan  arbitrase,  salah  satu  pihak  dapat  mengajukan  permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.   surat  atau  dokumen  yang  diajukan  dalam  pemeriksaan,  setelah  putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b.  setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c.   putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d.  putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau e.          putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2)     Dalam  hal  permohonan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3)     Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.

Pasal 53

Perselisihan hubungan industrial yang  sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 54

Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.